BAGAIMANA MUNGKIN KITA TIDAK MENCINTAI MEREKA?
Naskah: Liu Ya-hsien
Foto: Yen Lin-chao
Penerjemah: Sari Damayanti
Pergi ke Taiwan’ nampaknya benar-benar hal yang
tidak terpikirkan oleh mereka. Untuk pertama kalinya, para guru dan murid
dari Afrika Selatan pergi ke Johannesburg (ibukota Afrika Selatan), terbang
dalam sebuah pesawat, meninggalkan Afrika Selatan, dan melihat samudera
serta bertemu Master Cheng Yen secara langsung. Anak-anak kecil ini bernyanyi,
menari, dan memenangkan cinta kami. Bahkan para guru pun terkesima dengan
apa yang mereka saksikan. Mereka berjanji untuk tidak akan pernah berhenti
mendidik anak-anak mereka.
Oktober berarti datangnya musim panas di Afrika Selatan.
Pada siang hari, cahaya matahari keemasan menyinari seluruh daerah itu.
Orang-orang pergi bekerja seperti biasa, tapi di dalam balai kota Ladysmith,
Ngema Naxolo terus memandang ke luar jendela. Gadis kulit hitam berusia
10 tahun itu berambut keriting, dan memiliki mata yang berbinar menarik.
Hari ini adalah hari penting, karena ayahnya telah berjanji untuk datang
dan membantunya membuat paspor untuk pergi ke Taiwan. Ia tidak tahu di
mana Taiwan, tapi ia tahu bahwa Tzu Chi ada di Taiwan. Yayasan ini telah
membantu mendirikan sekolah di kota kelahirannya dan juga memberinya buku-buku
dan pensil. Ia ingin sekali pergi ke Taiwan agar dapat bertemu Master
Cheng Yen dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan insan-insan Tzu Chi.
Satu jam telah berlalu, tapi ayahnya belum juga nampak. Kegembiraannya
berubah menjadi kecemasan. Kemudian ia melihat Buthelez Jabulani, kepala
sekolahnya. Ngema berlari dan memeluk erat Jabulani, air matanya berlinang
dan sambil tersedu berkata, “Aku… Aku ingin pergi ke Taiwan…”
Melihat wajah yang penuh air mata dalam pelukannya, Jabulani tidak bisa
berkata sepatah kata pun. Ia mengerti keinginan anak itu, karena dirinya
pun memiliki harapan yang sama. Jabulani telah mengalami banyak hal dalam
hidupnya dan memiliki harapan yang jauh lebih besar. “Sepuluh tahun!
Tidaklah mudah untuk bisa sampai pada keadaan saat ini,” kenang
Jabulani.
Sepuluh Ruang Kelas
Jabulani tidak akan pernah melupakan tahun 1994, saat Nelson Mandela memenangkan
pemilihan presiden, dan kaum kulit hitam, 70% dari total penduduk, akhirnya
mendapatkan hak politik mereka.
|
Politik apartheid (diskriminasi ras) telah membagi Afrika
Selatan menjadi 4 kelas: kaum kulit putih di kelas paling atas, kemudian
diikuti kaum Asia, kaum kulit berwarna, dan yang paling bawah kaum kulit
hitam. Ketika Mandela menjadi presiden, dia menghapuskan diskriminasi
rasial tersebut. Ini adalah titik balik kehidupan negara tersebut.
Jabulani ditunjuk untuk memimpin Sekolah Amankamazana CP di desa kecil
dekat Ladysmith pada tahun 1996. Sekolah yang didirikan untuk anak-anak
Zulu ini tidak memiliki ruang kelas. Kata ‘Zulu’ berarti ‘surga’,
tapi Jabulani merasa sangat heran ketika dia melihat tanahnya begitu gersang.
Penduduk desa telah bekerja keras, menyisihkan pendapatan mereka yang
kecil untuk membangun sekolah yang sederhana ini. Tetapi matahari, hujan,
dan angin telah merusaknya. Atap sekolah hilang dan tinggal dua sisi dinding
yang tersisa.
Jabulani memohon pejabat pemerintah setempat untuk membantu, tapi janji
tinggal janji. Bantuan dari pihak swasta juga tidak diperoleh. Karena
merasa putus asa, sampai-sampai Jabulani berharap untuk dipindahkan ke
tempat lain.
Seluruh rakyat Afrika Selatan menanti kelahiran kembali negara tersebut
setelah pemilihan presiden. Pemerintah mungkin telah bertekad untuk melakukan
perbaikan, tapi semua masih butuh waktu. Untungnya, Tuhan tidak melupakan
anak-anak ini. Para relawan Tzu Chi datang membantu mereka. Dengan mengumpulkan
dana, termasuk dari pengusaha RRC dan Taiwan yang bermukim di sana, akhirnya
anak-anak itu mendapatkan 10 ruang kelas dengan dinding batu bata dan
atap.
Inilah sekolah Tzu Chi pertama di Afrika Selatan. Beberapa tahun kemudian,
6 sekolah dasar dan sebuah sekolah taman kanak-kanak juga dibangun. Sekarang,
2.700 anak-anak Zulu belajar di lebih dari 50 ruang kelas yang didirikan
Tzu Chi. Jabulani merasa bahwa ia telah melihat secercah harapan.
|
Perjalanan yang Menakjubkan
Mimpi Jabulani untuk datang ke Taiwan akhirnya menjadi kenyataan. Dan
ia juga dapat membawa anak didiknya ikut serta! Sebenarnya, para relawan
Tzu Chi di Afrika Selatan sudah merencanakan untuk mengundang para guru
dan murid itu ke pusat Tzu Chi di Taiwan. Pertemuan bagi penggiat pendidikan
Tzu Chi di seluruh dunia yang dilaksanakan di Taiwan pada Oktober 2004
tersebut merupakan kesempatan yang amat berharga.
Keputusan itu mengejutkan anak-anak. Di desa mereka yang kecil, mencari
makan untuk bertahan hidup saja merupakan masalah yang harus dihadapi.
Mereka sudah merasa sangat beruntung jika dapat bersekolah, dan pergi
ke Taiwan merupakan hal yang jauh di luar impian mereka.
Namun, begitu banyak anak dari 7 sekolah, siapa yang harus pergi? Sekolah
Dasar Tzu Chi yang pertama dan kedua letaknya saling berdekatan, jadi
akan lebih mudah untuk memilih murid yang akan berangkat, lagipula para
guru di sana juga bersedia menemani murid-muridnya. Karena itu, murid
kelas dua hingga kelas empat dari kedua sekolah ini terpilih untuk pergi.
Para murid yang terpilih nantinya harus berbagi apa yang telah mereka
dengar dan lihat di Taiwan dengan teman-temannya yang lain.
Ketika para relawan sedang mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan, masalah
mulai timbul. Beberapa anak tidak memiliki akte kelahiran untuk membuat
paspor. Diperkirakan seperempat dari orang dewasa di Kwazulu, Propinsi
Natal buta huruf. Sebagian besar bekerja sebagai buruh atau pembantu.
Beberapa orang tua tidak menyadari bahwa mereka perlu membuat akte kelahiran
untuk anak-anak mereka, sebagian lainnya bahkan merasa hal ini tidaklah
penting.
Seorang relawan, Fang Lung-sheng menyatakan bahwa beberapa anak harus
kehilangan kesempatan untuk pergi ke Taiwan karena orang tua mereka telah
meninggal, sehingga mereka tidak bisa membuat akte kelahiran. Akhirnya,
terpilih 16 anak yang beruntung, terdiri dari 13 perempuan dan 3 laki-laki
yang usianya berkisar antara 8-13 tahun.
Hingga saat terakhir, Ayah Ngema tidak pernah datang ke balai kota. Jabulani
dan para relawan Tzu Chi kemudian melakukan perjalanan jauh bersama Ngema
untuk mendapatkan tanda tangan orang tua anak perempuan itu. Dan Ngema
pun dapat bergabung pada detik-detik terakhir dengan teman-temannya untuk
pergi ke Taiwan.
|
Saat Pertama
“Ini adalah pertama kalinya saya terbang dengan pesawat. Rasanya
seperti duduk di sebuah bus untuk orang kulit hitam. Kami terbang ke angkasa
masuk ke dalam awan,” Zanele dengan gembira menulis perjalanan pertamanya.
“Kami naik pesawat di Johannesburg, terbang melintasi Samudera Hindia,
di atas Madagaskar dan beberapa pulau kecil. Kami mendarat di Hongkong
dan kemudian pergi ke Taipei. Ini pertama kalinya dan mungkin juga yang
terakhir, aku ke Taiwan. Aku sangat senang!“ Lungelo (10 tahun)
menulis dengan amat rinci tentang sebuah dunia baru yang ia lihat.
Seorang relawan, Ho Tang-hsing merasa begitu terharu melihat kegembiraan
dan keingintahuan di wajah anak-anak itu. Ia sadar bahwa perjalanan ini
akan menjadi beragam pengalaman pertama bagi anak-anak itu. Ini adalah
saat pertama mereka pergi ke Ladysmith, saat pertama mereka pergi ke Johannesburg,
saat pertama mereka terbang dengan pesawat, saat pertama mereka meninggalkan
negara mereka, dan saat pertama mereka melihat samudera.
Setelah semua ‘saat pertama’ ini, masih ada Hualien yang penuh
kejutan. Misalnya, ada kelas yang mempertunjukkan anak-anak di berbagai
belahan dunia. Selama pemutaran video, para murid menangis saat mengetahui
bahwa banyak anak di dunia yang kehilangan keluarganya atau menderita
kelaparan. “Aku kira aku adalah anak yang paling tidak beruntung,”
kata seorang murid perempuan sambil menangis, “tapi sekarang aku
tahu masih ada orang lain yang jauh lebih tidak beruntung.”
Yang paling ditunggu anak-anak adalah bertemu Master Cheng Yen secara
langsung. Pada hari pertama, mereka melihat seorang bhiksuni mendatangi
mereka, anak-anak dengan gembira mengira dia adalah Master. Namun, mereka
melihat ada yang salah dan berbisik pada para relawan di dekat mereka,
“Mengapa Beliau terlihat berbeda dengan yang di gambar?” Ketika
mereka akhirnya melihat Master Cheng Yen yang sesungguhnya, semua murid
tersenyum dan berlari memeluknya.
|